Sabtu, 30 Maret 2013

Halalkah Daging Biawak?

Bismillahirrahmanirrahim,
Alhamdulillahirrabil ‘alamin, semoga shalawat dan salam senantiasa terus dilimpahkan kepada Nabi terakhir, Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, amma ba’du.
Telah menjadi sesuatu yang lumrah ketika seorang Indonesia mengartikan Dhabb (الضَبُّ ) dengan kata biyawak, baik itu dalam buku terjemahan, artikel, majalah, ataupun bentuk-bentuk media tulis lainnya. Padahal ini merupakan kekeliruan yang sangat fatal, yang nantinya berakibat pada penghalalan daging biyawak itu sendiri. Hal tersebut telah diakui oleh kita sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bahwasanya penghalalan sesuatu yang Allah dan Rasul Nya haramkan atau sebaliknya, merupakan salah satu bentuk dari praktek kekufuran.
Salah satu penyebab kekeliruan tersebut karena kebanyakan orang Indonesia dalam menerjemahkan kata-kata bahasa arab terlalu bergantung pada kamus-kamus terjemah yang ada. Misalnya kamus Al Munawwir, yang mana didalamnya tidak sedikit terdapat kekeliruan (tidak sesuai) didalam penterjemahan dari bahasa arab ke dalam bahasa Indonesia. Faedah yang dapat diambil, bahwa tidak semua bahasa arab bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara mutlak.
Maka dengan risalah ini penulis ingin mencoba meluruskan kekeliruan yang ada. Wallahul muwaffiq.
APA ITU DHABB?
Untuk mengetahui apa itu dhabb, pembaca -semoga diberkahi Allah- bisa membuka Kitab Al Hayawan karya Abu ‘Utsman ‘Amr bin Bahr Al Jahizh yang terdiri dari delapan jilid atau Tajul ‘Arus karya Murtadha Az Zabidi ataupun kamus arab lainnya . Di dalam dua kitab itu disebutkan tentang apa itu dhabb terlebih lagi pada kitab yang pertama, disana kita bisa mengetahui banyak tentang dhabb.
Dan disini penulis hanya mencukupkan beberapa keterangan saja , diantaranya:
- Dhabb adalah hewan reptil yang hidup di gurun pasir,
- termasuk dari hewan darat bukan laut atau air,
- termasuk dari jenis hewan darat yang kepalanya seperti ular,
- umurnya panjang,
- sekali bertelur bisa mencapai 60 sampai 70 butir dan telurnya menyerupai telur burung merpati,
- warna kulitnya bisa berubah dikarenakan perubahan cuaca panas,
- tidak meminum air bahkan mencukupkan dirinya dengan keringat,
- ekor adalah senjatanya,
- gigi-giginya tumbuh berbarengan,
- mempunyai 4 kaki yang mana semua telapaknya seperti telapak tangan manusia,
- sebagiannya ada yang mempunyai dua lidah,
- hewan yang dimakan hanya belalang,
- terkadang memakan anaknya sendiri,
- makan tetumbuhan sejenis rumput,
- menyukai kurma,
- sebagian orang arab merasa jijik dengannya.
Pernah pada suatu kesempatan saya bertanya kepada Syaikhuna Shalih Abdul Aziz Al Ghusn (hafizhahullah),
Seperti apa dhabb itu?,
beliau menjawab: “dhabb adalah hewan barr (padang pasir) yang berjalan diatas perutnya”.
Apakah dhabb bertaring?,
beliau menjawab: “dhabb tidak bertaring, hewan ini memakan rerumputan dan tidak meminum air, dan sebagian orang memakan dagingnya”.
APA ITU BIYAWAK?
Berbeda dengan dhabb, diantara keterangan tentang biyawak adalah sebagai berikut:
- biyawak adalah hewan reptil persis seperti komodo akan tetapi ukurannya lebih kecil,
- hidup di gua-gua kecil pinggiran sungai,
- bisa berenang di air dan berjalan di darat seperti halnya buaya,
- makanannya adalah daging karena hewan ini termasuk dari jenis karnivora,
- dia memangsa santapannya (hewan-hewan yang dimakannya seperti katak, tikus, ayam atau burung sekalipun) dengan gigi taring,
- ciri fisiknya mirip dengan komodo dari mulai bentuk perut, leher, kepala, ekor, sampai gaya berjalannya.
Penulis sengaja tidak mencari referensi tentang apa itu biyawak dari kamus-kamus binatang, dikarenakan penulis pernah langsung memelihara hewan tersebut.
DAGING DHABB HALAL DIMAKAN
Berikut ini adalah beberapa hadits yang menjadi dalil akan kehalalan daging dhabb :
عن ابْن عُمَرَ رضي الله عنهما قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم:
(الضَبُّ لَسْتُ آكِلَهُ وَلاَ أُحَرِّمُهُ).
Dari Ibnu ‘Umar -semoga Allah meridhainya-, ia berkata: telah bersabda Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
“Aku tidak memakan dhabb dan aku tidak mengharamkannya.”
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما، عَنْ خَالِدٍ بْنِ الْوَلِيْدِ:
أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم بَيْتَ مَيْمُوْنَةَ، فَأُتِيَ بِضَبٍّ مَحْنُوْذٍ، فَأَهْوَى إِلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِيَدِهِ، فَقَالَ بَعْضُ النِّسْوَةِ: أَخْبِرُوْا رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِمَا يُرِيْدُ أَنْ يَأْكُلَ، فَقَالُوْا: هُوَ ضَبٌّ يَا رَسُوْلَ اللهِ، فَرَفَعَ يَدَهُ، فَقُلْتُ: أَحَرَامٌ هُوَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَقَالَ: (لاَ، وَلَكِنْ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِيْ، فَأَجِدُنِيْ أَعَافُهُ). قَالَ خَالِدٌ: فَاجْتَرَرْتُهُ فَأَكَلْتُهُ، وَرَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَنْظُرُ.
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas -semoga Allah meridhai keduanya-, dari Khalid bin Walid -semoga Allah meridhainya-: bahwasanya ia bersama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- masuk ke rumah Maimunah -semoga Allah meridhainya-, lalu didatangkan kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- daging dhabb panggang, kemudian Beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- melayangkan tangannya kearah daging tersebut, lalu sebagian kaum wanita berkata:
“Beritahu Rasulullah atas apa yang akan dimakannya”,
maka para sahabat berkata:
“Wahai Rasulullah! Itu adalah daging dhabb”,
kemudian Beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengangkat tangannya, lalu aku -Khalid- bertanya: “Apakah daging ini haram wahai Rasulullah?”,
kemudian Beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
“Tidak, akan tetapi hewan ini tidak ada di tanah kaumku dan aku memperbolehkannya”,
Khalid berkata:
“Aku pun mengambilnya lalu memakannya dan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- melihatnya”.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ. قَالَ:
سَأَلَ رَجُلٌ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم، وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ، عَنْ أَكْلِ الضَّبِّ؟ فَقَالَ:
(لاَ آكِلُهُ وَلاَ أُحَرِّمُهُ).
Dari Ibnu ‘Umar -semoga Allah meridhai keduanya-, ia berkata:
“Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah ditanya ketika sedang berada di atas mimbar tentang memakan dhabb, lalu Beliau menjawab:
“Aku tidak memakannya dan tidak mengharamkannya”.
عن ابْن عُمَرَ: أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ مَعَهُ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِهِ فِيْهِمْ سَعْدٌ. وَأُتُوْا بِلَحْمِ ضَبٍّ. فَنَادَتِ امْرَأَةٌ مِنْ نِسَاءِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم: إِنَّهُ لَحْمُ ضَبٍّ.
فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: (كُلُوْا، فَإِنَّهُ حَلاَلٌ. وَلَكِنَّهُ لَيْسَ مِنْ طَعَامِيْ).
“Dari Ibnu ‘Umar -semoga Allah meridhai keduanya-: bahwasanya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersama beberapa orang dari sahabatnya -semoga Allah meridhai mereka-, diantaranya adalah Sa’d. Didatangkan kepada mereka daging dhabb, lalu ada seorang wanita berteriak:
“Itu adalah daging dhabb”,
kemudian Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
“Makanlah oleh kalian, karena sesungguhnya daging ini halal. Akan tetapi bukan dari makananku”.
daging biawak
DAGING BIYAWAK HARAM DIMAKAN
Berbeda dengan dhabb, dikarenakan biyawak termasuk dari jenis hewan buas dan bertaring, maka masuk kepada larangan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana dalam hadits-hadits berikut ini:
عَنِ الزُّهْرِيْ:
نَهَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَنْ كُلِّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ.
Dari Az Zuhri:
“Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah melarang setiap yang bertaring dari hewan buas (untuk dimakan.pent)”.
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ.
Dari Abu Tsa’labah Al Khusyni:
“Bahwasanya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang untuk memakan setiap yang bertaring dari hewan buas”.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ :
عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ (كُلُّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ، فَأَكْلُهُ حَرَامٌ).
Dari Abu Hurairah -semoga Allah meridhainya-, dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwasanya bersabda:
“Setiap yang bertaring dari hewan buas, maka memakannya adalah haram”.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ كُلِّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ. وَعَنْ كُلِّ ذِيْ مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ.
Dari Ibnu ‘Abbas -semoga Allah meridhai keduanya-:
“Bahwasanya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang dari setiap hewan buas yang bertaring dan dari setiap burung yang bercakar (yakni untuk dimakan.pent)”.
varanus salvator
Kesimpulannya, bahwa kata dhabb dalam bahasa arab tidak bisa kita artikan biyawak dalam bahasa Indonesia, karena keduanya adalah hewan yang saling berbeda. Dan kita di Indonesia tidak bisa mendapatkan satu ekor pun dhabb, karena memang disini bukanlah habibatnya. Sehingga kita ketahui dengan dalil-dalil yang ada bahwa daging dhabb halal untuk dimakan, adapun biyawak tidak, yakni daging biyawak haram untuk dimakan karena masuk pada hewan bertaring yang Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang umatnya untuk memakannya.
Semoga risalah ini menjadi secercah sinar yang bermanfaat untuk kaum muslimin.
Wal ‘ilmu ‘indallah, wallahu a’lam bish shawab.
Yang senantiasa mengharap ridha dan ampunan Rabbnya,
Syuhada Abu Syakir AlIskandar AlJawaghy AsSalafy
Hayy Ar Royyan, Ad Da`iriy Asy Syarqiy, Riyadh, KSA.

Hukum Mengusap Wajah setelah Sholat dan Berdo’a

Tanya: Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarokatuh.
Setelah salam (akhir sholat) dan selesai berdo’a kebanyakan orang menyapu muka. Apakah menyapu muka itu diajarkan Rosulullah? Apa dalilnya?
Ahmad Jazuli (dc_bj***@yahoo.com)
Jawab: Wa ‘alaikumussalaam warahmatullahi wabarokatuh.
Menyapu / mengusap muka baik setelah selesai salam ataupun selesai berdo’a tidak diajarkan oleh Rosulullah, dan hadits-hadits yang mendukungnya pun sangat lemah tidak bisa dijadikan sandaran, di antara hadits-hadits itu:
1. Hadits Umar, “Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila mengangkat kedua tangannya saat berdo’a beliau tidak menurunkannya hingga mengusap wajahnya dengan keduanya.” Hadits ini dikeluarkan oleh At Tirmidzi dalam Sunannya 2/244, namun di dalam sanadnya terdapat seorang rawi Hammad bin Isa Al Juhaniy. Dikatakan oleh Ibnu Ma’in: Syaikhun sholeh, oleh Abu Hatim: dho’iful hadits, dan oleh Abu Daud: ia meriwayatkan hadits-hadits munkar. Serta didho’ifkan pula oleh Ad Daruquthni.
2. Hadits dari Saib bin Yazid dari bapaknya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila berdo’a beliau mengangkat kedua tangannya lalu mengusap wajahnya dengan keduanya.” Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Daud dalam Sunannya no. 1492. Di dalam sanad haditsnya ada rawi yang bernama Hafs bin Hasyim keadaannya majhul (tidak diketahui) dan ada Ibnu Lahi’ah yang dho’if.
3. Hadits Ibnu Abbas, “Apabila kamu telah selesai berdo’a, maka usaplah wajahmu dengan keduanya (kedua tangan).” Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah, tetapi pada sanadnya ada rawi yang bernama Sholeh bin Hasan, munkarul hadits seperti kata Al Bukhori. Adapun An Nasa`i beliau mengatakan tentangnya, “Matrukul hadits.”
Dari uraian di atas maka jelaslah hadits-hadits dalam masalah ini sangat lemah. Meski banyak, hadits-hadits itu tidaklah saling menguatkan karena kedho’ifannya yang sangat. Untuk lebih terperincinya lihat Irwa`ul Ghalil: 2/ 178-179.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Seorang yang berdo’a tidak boleh mengusap wajahnya dengan kedua tangannya, karena mengusapnya dengan kedua tangan adalah ibadah, butuh kepada dalil yang shohih yang menjadi hujjah bagi seseorang di sisi Allah bila ia mengamalkannya. Adapun hadits dho’if, maka tidaklah kokoh untuk dijadikan hujjah.” (Dari Syarhul Mumthi: 4/54). Wal ‘ilmu ‘indallah.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Hamzah Al Atsary.
SUMBER :  Buletin Al Wala’ Wal Bara’ Edisi ke-41 Tahun ke-2 / 03 September 2004 M / 18 Rajab 1425 H

Pertanyaan : Jika datang ‘Idul Fithri pada hari Jum’at apakah boleh bagiku untuk shalat ‘Id namun aku tidak shalat Jum’at, atau sebaliknya?

oleh: Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah
Pertanyaan : Jika datang ‘Idul Fithri pada hari Jum’at apakah boleh bagiku untuk shalat ‘Id namun aku tidak shalat Jum’at, atau sebaliknya?

Jawab : Apabila Hari Raya bertepatan dengan hari Jum’at maka barangsiapa yang telah menunaikan shalat ‘id berjama’ah bersama imam gugur darinya kewajiban menghadiri shalat Jum’at, dan hukumnya bagi dia menjadi sunnah saja. Apabila dia tidak menghadiri shalat Jum’at maka tetap wajib atasnya shalat zhuhur. Ini berlaku bagi selain imam.
Adapun imam, tetap wajib atasnya untuk menghadiri Jum’at dan melaksanakannya bersama kaum muslimin yang hadir. Shalat Jum’at pada hari tersebut tidak ditinggalkan sama sekali. (Al-Muntaqa min Fatawa Al-Fauzan VIII/44)
Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta` Fatwa no. 2358
Pertanyaan : Pada tahun ini bertemu dalam sehari dua hari raya, yaitu : Hari Jum’at dan ‘Idul Adh-ha. Manakah yang benar : Kita tetap melaksanakan shalat zhuhur jika kita tidak shalat Jum’at, ataukah kewajiban shalat zhuhur gugur apabila kita tidak shalat Jum’at?
Jawab : Barangsiapa yang melaksanakan shalat ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at, maka dia diberi rukhshah (keringanan) untuk meninggalkan shalat Jum’at pada hari tersebut, kecuali imam. Adapun imam, tetap wajib atasnya menegakkan shalat Jum’at bersama kaum muslimin yang hadir shalat Jum’at, baik yang sudah shalat ‘Id maupun tidak shalat ‘Id. Apabila tidak ada seorang pun yang hadir, maka gugurlah kewajiban Jum’at darinya, dan dia melaksanakan shalat Zhuhur.
(Para ‘ulama yang berpendapat demikian) berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami berkata :
« شهدت معاوية بن أبي سفيان وهو يسأل زيد بن أرقم قال: أشهدت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم عيدين اجتمعا في يوم؟ قال: نعم، قال: فكيف صنع؟ قال: صلى العيد ثم رخص في الجمعة، فقال: من شاء أن يصلي فليصل، »
Aku menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan sedang bertanya kepada Zaid bin Arqam, “Apakah engkau menyaksikan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dua ‘Id bertepatan pada satu hari?” Zaid menjawab, “Ya.” Mu’awiyah bertanya lagi, “Bagaimana yang beliau lakukan?” Zaid menjawab, “Beliau mengerjakan shalat ‘Id kemudian memberikan rukhshah (keringanan) untuk shalat Jum’at. Beliau mengatakan, Barangsiapa yang hendak mengerjakan shalat (Jum’at), maka silakan mengerjakan shalat (Jum’at).” [1]
Juga berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya juga dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda :
« قد اجتمع في يومكم هذا عيدان، فمن شاء أجزأه من الجمعة، وإنا مجمعون »
Telah terkumpul pada hari kalian ini dua ‘Id. Barangsiapa yang mau maka itu sudah mencukupinya dari shalat Jum’at. Sesungguhnya kita memadukan (dua ‘id). [2]
Dalil-dalil tersebut menunjukkan bahwa rukhshah (keringanan) tersebut untuk shalat Jum’at bagi barangsiapa yang telah menunaikan shalat ‘Id pada hari tersebut.
Sekaligus diketahui bahwa tidak berlaku rukhshah bagi imam, karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits tersebut, “Sesungguhnya kita memadukan (dua ‘id).” Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari shahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma :
« أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقرأ في صلاة الجمعة والعيد بسبح والغاشية، وربما اجتمعا في يوم فقرأ بهما فيهما »
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu membaca dalam shalat Jum’at dan shalat ‘Id surat Sabbihis dan surat Al-Ghasyiyah. Terkadang dua ‘Id tersebut bertemu/bertepatan dalam satu hari, maka beliau membaca dua surat tersebut dalam dua shalat (”Id dan Jum’at).”
Barangsiapa yang tidak menghadiri shalat Jum’at bagi yang telah menunaikan shalat ‘Id, maka tetap wajib atasnya untuk shalat Zhuhur, berdasarkan keumuman dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban shalat Zhuhur bagi yang tidak shalat Jum’at.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta`,Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, Wakil Ketua: ‘Abdurrazzaq ‘Afifi, Anggota: ‘Abdullah bin Ghudayyan, Anggota: ‘Abdullah bin Qu’ud.
Adapun dalam fatwo 2140, Al-Lajnah menyatakan sebagai berikut :
Apabila ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at, maka gugur kewajiban menghadiri shalat Jum’at bagi orang yang telah menunaikan shalat ‘Id. Kecuali bagi imam, kewajiban shalat Jum’at tidak gugur darinya. Terkecuali apabila memang tidak ada orang yang berkumpul/hadir (ke masjid) untuk shalat Jum’at.
Di antara yang berpendapat demikian adalah adalah : Al-Imam Asy-Sya’bi, Al-Imam An-Nakha’i, Al-Imam Al-Auza’i. Ini adalah madzhab shahabat ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Sa’id, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Az-Zubair radhiyallahu ‘anhum dan para ‘ulama yang sependapat dengan mereka.
Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah
Pertanyaan : Apa hukum shalat Jum’at jika bertepatan dengan hari ‘Id, apakah wajib menegakkannya atas seluruh kaum muslimin, ataukah hanya wajib atas sekelompok tertentu saja? Karena sebagian orang berkeyakinan bahwa apabila hari ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at berarti tidak ada shalat shalat Jum’at.
Jawab : Tetap wajib atas imam dan khathib shalat Jum’at untuk menegakkan shalat Jum’at, hadir ke masjid, dan shalat berjama’ah mengimami orang-orang yang hadir di masjid. Karena dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegakkan shalat Jum’at pada hari ‘Id, beliau ‘alahish shalatu was salam melaksanakan shalat ‘Id dan shalat Jum’at. Terkadang beliau dalam shalat ‘Id dan shalat Jum’at sama-sama membaca surat Sabbihisma dan surat Al-Ghasyiyah, sebagaimana dikatakan oleh shahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma dalam riwayat yang shahih dari beliau dalam kitab Shahih (Muslim).
Namun bagi orang yang yang telah melaksanakan shalat ‘Id, boleh baginya untuk meninggalkan shalat Jum’at dan hanya melaksanakan shalat Zhuhur di rumahnya atau berjama’ah dengan beberapa orang saudaranya, apabila mereka semua telah melaksanakan shalat ‘Id.
Apabila dia melaksanakan shalat Jum’at berjama’ah maka itu afdhal (lebih utama) dan akmal (lebih sempurna). Namun apabila ia meninggalkan shalat Jum’at, karena ia telah melaksanakan shalat ‘Id, maka tidak mengapa, namun tetap wajib atasnya melaksanakan shalat Zhuhur, baik sendirian ataupun berjama’ah. Wallahu Waliyyut Taufiq
(Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XII/341-342)
Dalam fatwanya yang lain, ketika beliau mengingkari pendapat yang menyatakan bahwa jika ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at, maka bagi orang yang telah melaksanakan shalat ‘Id gugur kewajiban shalat Jum’at dan shalat Zhuhur sekaligus, Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan :
“Ini juga merupakan kesalahan yang sangat jelas. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan atas hamba-hamba-Nya shalat 5 waktu dalam sehari semalam, dan kaum muslimin telah berijma’ atas kewajiban tersebut. Yang kelima pada hari Jum’at adalah kewajiban shalat Jum’at. Hari ‘Id apabila bertepatan dengan hari Jum’at termasuk dalam kewajiban tersebut. Kalau seandainya kewajiban shalat Zhuhur gugur dari orang yang telah melaksanakan shalat ‘Id niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mengingatkan hal tersebut. Karena ini merupakan permasalahan yang tidak diketahui oleh umat. Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan rukhshah (keringanan) untuk meninggalkan shalat Jum’at bagi orang yang sudah melaksanakan shalat ‘Id dan tidak menyebutkan gugurnya kewajiban shalat Zhuhur, maka diketahui bahwa kewajiban (shalat Zhuhur) tersebut masih tetap berlaku. Berdasarkan hukum asal dan dalil-dalil syar’i, serta ijma’ (kaum muslimin) atas kewajiban shalat 5 waktu dalam sehari semalam.
Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melaksanakan shalat Jum’at pada (hari yang bertepatan dengan) hari ‘Id, sebagaimana terdapat dalam hadits-hadits, di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahih-nya dari shahabat An-Nu’man bin Basyir :
« أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقرأ في صلاة الجمعة والعيد بسبح والغاشية، وربما اجتمعا في يوم فقرأ بهما فيهما »
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu membaca dalam shalat Jum’at dan shalat ‘Id surat Sabbihis dan surat Al-Ghasyiyah. Terkadang dua ‘Id tersebut bertemu/bertepatan dalam satu hari, maka beliau membaca dua surat tersebut dalam dua shalat (”Id dan Jum’at).”
adapun apa yang diriwayatkan dari shahabat ‘Abdullah bin Az-Zubair bahwa beliau melaksanakan shalat ‘Id kemudian tidak keluar lagi baik untuk shalat Jum’at maupun shalat Zhuhur, maka itu dibawa pada kemungkinan bahwa beliau memajukan shalat Jum’at, dan mencukupkan dengan itu dari mengerjakan shalat ‘Id dan shalat Zhuhur. Atau pada kemungkinan bahwa beliau berkeyakinan bahwa imam pada hari tersebut memiliki hukum yang sama dengan yang lainnya, yaitu tidak wajib keluar untuk melaksanakan shalat Jum’at, namun beliau tetap shalat Zhuhur di rumahnya. Kemungkinan mana pun yang benar, kalau pun taruhlah yang benar dari perbuatan beliau bahwa beliau berpendapat gugurnya kewajiban shalat Jum’at dan Zhuhur yang sudah shalat ‘Id maka keumuman dalil-dalil syar’i, prinsip-prinsip yang diikuti, dan ijma’ yang ada bahwa wajib shalat Zhuhur atas siapayang tidak shalat Jum’at dari kalangan para mukallaf, itu semua lebih dikedepankan daripada apa yang diamalkan oleh Ibnu Az-Zubair radhiyallahu ‘anhu. … .
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XXX/261-262)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah :
Kenyataannya masalah ini terdapat perbedaan di kalangan ‘ulama rahimahumullah. Pendapat yang kuat, yang ditunjukkan oleh As-Sunnah, bahwa ….
Kita katakan, Apabila hari Jum’at bertepatan dengan ‘Id maka engkau wajib shalat ‘Id. Barangsiapa yang telah melaksanakan shalat ‘Id, maka bagi dia bebas memilih apakah dia mau hadir shalat Jum’at bersama imam, ataukah ia shalat Zhuhur di rumahnya.
Kedua, tetap wajib mengadakan shalat Jum’at di suatu negeri/daerah. Barangsiapa yang hadir maka dia shalat Jum’at, barangsiapa yang tidak hadir maka dia shalat Zhuhur di rumahnya.
Ketiga, pada hari itu shalat Zhuhur tidak dilaksanakan di masjid, karena yang wajib dilaksanakan adalah shalat Jum’at, sehingga tidak dilakukan shalat Zhuhur (di masjid).
Inilah pendapat yang kuat, yang ditunjukkan oleh dalil-dalil As-Sunnah. (Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb – Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin)
[1] HR. Ahmad (IV/372), Abu Dawud 1070, An-Nasa`i 1591, Ibnu Majah 1310. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Madini, Al-Hakim, dan Adz-Dzahabi. Dishahihkan pula oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud – Al-Umm no. 981. (pent)
[2] HR. Abu Dawud 1073, Ibnu Majah 1311. dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud – Al-Umm no. 983.

Jumat, 29 Maret 2013

Tanya: Seorang wanita hamil keluar darah dari kemaluannya lima hari sebelum melahirkan di bulan Ramadhan. Apakah darahnya tersebut darah haid atau darah nifas? Apa yang harus dilakukan ketika itu?

Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal Ifta` menjawab, “Bila perkaranya sebagaimana yang disebutkan yakni si wanita yang sedang hamil melihat keluarnya darah lima hari sebelum melahirkan:
Jika ia tidak melihat adanya tanda-tanda dekatnya saat kelahiran seperti rasa sakit karena ingin melahirkan/kontraksi, maka darah tersebut bukanlah darah haid dan bukan pula darah nifas, melainkan darah fasad (rusak) menurut pendapat yang shahih. Karenanya, ia tidak meninggalkan ibadah, tetap mengerjakan shalat dan puasa.
Apabila bersamaan dengan keluarnya darah tersebut didapatkan tanda-tanda dekatnya saat kelahiran berupa rasa sakit dan semisalnya maka darahnya itu adalah darah nifas, sehingga ia tidak mengerjakan shalat dan puasa. Bila ia telah selesai/suci dari nifasnya setelah melahirkan, ia mengqadha puasanya saja.” Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab. (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, hal. 67)

Sumber : http://asysyariah.com/lama-waktu-nifas.html

http://kaahil.wordpress.com/2013/03/20/bagus-lama-waktu-nifas-dan-haidhmenstruasi-hukum-nifas-lebih-dari-40-hari-nifas-sebelum-melahirkan-nifas-setelah-operasi-sesar-sc-berapa-lama-wanita-yang-nifas-meninggalkan-shalat-apabila/

Tanya: Sebagian wanita mengalami kesulitan dalam melahirkan kandungannya sehingga terpaksa dilakukan pembedahan yang berarti anak yang dilahirkan tidak melalui kemaluan. Apa hukumnya wanita yang mengalami kasus seperti ini dari sisi darah nifasnya? Dan apa hukum mandi mereka secara syar’i?

Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal Ifta` yang saat itu diketuai Samahatusy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz t menjawab, “Hukum bagi wanita yang mengalami kejadian demikian sama dengan hukum wanita-wanita lain yang mengalami nifas karena persalinan normal. Bila ia melihat keluarnya darah dari kemaluannya, ia meninggalkan shalat dan puasa sampai suci. Bila ia tidak lagi melihat keluarnya darah maka ia mandi, mengerjakan shalat dan puasa seperti halnya wanita-wanita yang suci.” (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, hal. 70)

http://kaahil.wordpress.com/2013/03/20/bagus-lama-waktu-nifas-dan-haidhmenstruasi-hukum-nifas-lebih-dari-40-hari-nifas-sebelum-melahirkan-nifas-setelah-operasi-sesar-sc-berapa-lama-wanita-yang-nifas-meninggalkan-shalat-apabila/

Tanya: Apabila darah terus keluar dari seorang wanita yang nifas sampai lebih 40 hari, apakah si wanita dibolehkan puasa dan shalat?

Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t menjawab, “Wanita yang nifas bila tetap keluar darahnya lebih dari 40 hari dalam keadaan darah tersebut tidak mengalami perubahan, maka bila kelebihan waktu tersebut bertepatan dengan masa kebiasaan haid yang pernah dialaminya (sebelum hamil), ia tidak boleh mengerjakan shalat dan puasa (karena statusnya ia sedang haid).
Namun bila tidak bertepatan dengan waktu kebiasaan haidnya yang dulu, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Di antara mereka ada yang mengatakan: bila telah sempurna waktu 40 hari dari masa nifasnya, wanita tersebut mandi dan harus mengerjakan shalat bila telah masuk waktunya sekalipun darah terus keluar/mengalir dari kemaluannya, karena si wanita sekarang terhitung mengalami istihadhah.
Di antara ulama ada yang berpendapat: si wanita tetap menunggu berhentinya darah sampai 60 hari, yang berarti ia masih berstatus nifas. Karena memang ada wanita yang masa nifasnya 60 hari. Ini perkara yang memang nyata, ada sebagian wanita yang kebiasaan nifasnya selama 60 hari. Berdasarkan hal ini, si wanita yang darahnya terus keluar lebih dari 40 hari tetap menanti sucinya sampai maksimal 60 hari. Selewatnya dari 60 hari, ia menganggap dirinya haid bila darah masih saja keluar dalam hitungan waktu/lama kebiasaan haidnya. Setelahnya ia mandi dan shalat walaupun darahnya masih keluar, karena kali ini ia terhitung wanita yang istihadhah.”
(Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, hal. 60-61)

Bolehkah menjadikan anak orang lain sebagai anak angkat dalam keluarga kita di mana kita menganggapnya seperti anak sendiri? Lalu bagaimana hijab dengannya bila si anak sudah baligh?

Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh rahimahullahu menjawab permasalahan yang seperti ini dengan pernyataan beliau,
“Dahulu di jaman jahiliah, orang-orang yang mengangkat anak memperlakukan anak angkat mereka seperti anak mereka yang hakiki atau seperti anak kandung dari segala sisi; dalam hal warisan, dalam hal bolehnya anak angkat tersebut berkhalwat (bersepi-sepi) dengan istri mereka, dan dianggapnya istri mereka sebagai mahram bagi anak angkat tersebut.
Adalah Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu, maula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di masa sebelum beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat sebagai nabi, dipanggil dengan Zaid bin Muhammad (karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkatnya sebagai anak). Maka Allah ‘Azza wa Jalla berkehendak untuk menghapuskan semua anggapan orang-orang jahiliah tersebut berkaitan dengan anak angkat.
Datanglah syariat Islam dalam masalah anak angkat ini berikut hukum-hukumnya yang tegas sebagaimana tersebut berikut ini:

1. Menghapus dan melarang adanya anak angkat yang dianggap sebagai anak yang hakiki dalam segala sisi, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:

وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ‏‎ ‎أَبْنَاءَكُمْ ۚذَٰ‌لِكُمْ‏‎ ‎قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ ۖ‏‎ ‎وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ‏‎ ‎يَهْدِي السَّبِيلَ ادْعُوهُمْ‏‎ ‎لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ‏‎ ‎اللَّهِ ۚ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا‎ ‎آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي‎ ‎الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ
“Dan Allah sekali-kali tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak kandung kalian sendiri. Yang demikian itu hanyalah perkataan kalian di mulut kalian saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah. Dan jika kalian tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka panggillah mereka sebagai saudara-saudara kalian seagama dan maula-maula kalian….” (Al-Ahzab: 4-5)
Dalam ayat-ayat di atas, Allah ‘Azza wa Jalla menerangkan bahwa ucapan seseorang kepada anak orang lain dengan “anakku” tidaklah berarti anak tersebut menjadi anaknya yang sebenarnya yang dengannya ditetapkan hukum-hukum bunuwwah (anak dengan orangtua kandungnya). Bahkan tidaklah mungkin anak tersebut bisa menjadi anak kandung bagi selain ayahnya. Karena, seorang anak yang tercipta dari sulbi seorang lelaki tidaklah mungkin ia dianggap tercipta dari sulbi lelaki yang lain, sebagaimana tidak mungkinnya seseorang memiliki dua hati/jantung [1]. Dan Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan kita agar mengembalikan penasaban anak-anak angkat tersebut kepada ayah kandung mereka, bila memang diketahui siapa ayah kandung mereka. Bila tidak diketahui maka mereka adalah saudara-saudara kita seagama dan maula kita. Allah Subhanahu wa Ta’ala beritakan bahwa yang demikian ini lebih adil di sisi-Nya.

2. Memutuskan hubungan waris antara anak angkat dengan ayah angkatnya. Hal ini terkandung dalam ayat-ayat yang telah dibawakan di atas [2]. Juga disebutkan bahwa dalam perkara anak angkat, Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat:

وَالَّذِينَ عَقَدَتْ‏‎ ‎أَيْمَانُكُمْ فَآتُوهُمْ‏‎ ‎نَصِيبَهُمْ
“Dan jika ada orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya [3].” (An-Nisa’: 33)
Ibnu Jarir rahimahullahu mengeluarkan riwayat dari Sa’id ibnul Musayyab rahimahullahu yang menyatakan, “Ayat ini hanyalah turun terhadap orang-orang yang dulunya menganggap anak pada selain anak kandung mereka dan mereka memberikan warisan terhadap anak-anak angkat tersebut. Maka Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat dalam perkara mereka. Untuk anak-anak angkat, Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan bagian dari harta (orangtua/ayah angkat mereka) dalam bentuk wasiat [4], sementara warisan dikembalikan kepada yang berhak dari kalangan dzawil arham [5] dan ‘ashabah [6]. Allah ‘Azza wa Jalla meniadakan adanya hak waris dari orangtua angkat untuk anak angkat mereka, namun Allah ‘Azza wa Jalla tetapkan adanya bagian harta untuk anak angkat tersebut dalam bentuk wasiat.” [7]

3. Dihalalkannya mantan istri anak angkat (setelah perceraian keduanya) untuk dinikahi oleh ayah angkatnya.

Hal ini tampak dengan Allah ‘Azza wa Jalla menikahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab bintu Jahsy radhiyallahu ‘anha setelah diceraikan oleh Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu yang dulunya merupakan anak angkat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum turunnya ayat-ayat yang melarang hal tersebut. Allah ‘Azza wa Jalla menerangkan hikmah dari kejadian tersebut dengan firman-Nya:
زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ‏‎ ‎وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ‏‎ ‎مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ‏‎ ‎وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ ۖفَلَمَّا قَضَىٰ زَيْدٌ مِنْهَا‎ ‎وَطَرًا
“Kami nikahkan dia denganmu agar tidak ada keberatan bagi kaum mukminin untuk menikahi istri-istri anak angkat mereka apabila anak angkat tersebut telah menyelesaikan urusan dengan istri-istri mereka (telah bercerai).” (Al-Ahzab: 37)
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam ayat yang menyebutkan tentang wanita-wanita yang haram dinikahi:
وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ‏‎ ‎الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ
“…dan istri-istri dari anak-anak kandung kalian….” (An-Nisa’: 23)
Berarti dikecualikan dalam hukum pengharaman tersebut para istri anak-anak angkat (boleh dinikahi oleh ayah angkat suaminya bila mereka telah bercerai).

4. Keharusan istri ayah angkat untuk berhijab dari anak angkatnya, sebagaimana ditunjukkan dalam kisah Sahlah bintu Suhail istri Abu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, tatkala Sahlah datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menyatakan,

“Wahai Rasulullah, kami dulunya menganggap Salim seperti anak kami sendiri. Sementara Allah telah menurunkan ayat tentang pengharaman anak angkat bila diperlakukan seperti anak kandung dalam segala sisi. Padahal Salim ini sudah biasa masuk menemuiku (tanpa hijab)….”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun menetapkan kepada Sahlah ketidakbolehan ikhtilath dengan anak angkat setelah turunnya ayat Al-Qur’an tersebut. Jalan keluarnya, beliau menyuruh Sahlah agar memberikan air susunya kepada Salim, dengan lima susuan yang dengannya ia menjadi mahram bagi Salim (yakni sebagai ibu susu, pent.)

5. Ancaman yang ditekankan dan peringatan yang keras bagi orang yang menasabkan dirinya kepada selain ayah kandungnya. Dalam hal ini ada ayat Al-Qur’an yang di-mansukh (dihapus) bacaannya namun hukumnya tetap berlaku, yaitu:

وَلَا تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ‏‎ ‎فَإِنَّهُ كُفْرٌ بِكُمْ أَنْ‏‎ ‎تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ
“Dan janganlah kalian benci (untuk bernasab) dengan bapak-bapak kalian karena sungguh itu adalah kekufuran bila kalian benci (untuk bernasab) dengan bapak-bapak kalian.”
Al-Imam Ahmad rahimahullahu meriwayatkan dari Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
كُنَّا نَقْرَأُ: وَلاَ تَرْغَبُوا‎ ‎عَنْ آبَائِكُمْ فَإِنَّهُ كُفْرٌ‏‎ ‎بِكُمْ أَنْ تَرْغَبُوا عَنْ‏‎ ‎آبَائِكُمْ
Kami dulunya membaca ayat: “Dan janganlah kalian benci (untuk bernasab) dengan bapak-bapak kalian karena sungguh itu adalah kekufuran bila kalian benci (untuk bernasab) dengan bapak-bapak kalian.”
Dalam hadits yang shahih dinyatakan:
مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيْهِ‏‎ ‎وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ‏‎ ‎أَبِيْهِ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ‏‎ ‎حَرَامٌ
“Siapa yang mengaku-aku bernasab kepada selain ayahnya dalam keadaan ia tahu orang itu bukanlah ayah kandungnya maka surga haram baginya.” [8]

Tersisa sekarang dua perkara dalam masalah menyebut anak pada selain anak kandung dan penasaban kepada selain ayah kandung. Kita akan sebutkan berikut ini:
Pertama: Apabila seseorang memanggil seorang anak dengan panggilan/sebutan ‘anakku’ (padahal bukan anaknya yang sebenarnya) untuk memuliakan dan menyatakan kecintaannya kepada si anak, hal ini tidaklah termasuk dalam larangan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
قَدَّمَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى‎ ‎اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ‏‎ ‎أُغَيْلِمَةَ بَنِي عَبْدِ‏‎ ‎الْمُطَّلِبِ عَلَى حُمُرَاتٍ‏‎ ‎لَنَا مِنْ جَمْعٍ، فَجَعَلَ‏‎ ‎يَلْطَخُ أَفْخَاذَنَا وَيَقُوْلُ:‏‎ ‎أُبَيْنـِيَّ –تَصْغِيرُ ابْنِي–‏‎ ‎لاَ تَرْمُوا الْجُمْرَةَ حَتَّى‎ ‎تَطْلُعَ الشَّمْسُ
(Pada malam Muzdalifah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengedepankan kami anak-anak kecil dari Bani Abdil Muththalib (lebih awal meninggalkan tempat tersebut/tidak mabit, pent.) di atas keledai-keledai kami. Mulailah beliau memukul dengan perlahan paha-paha kami seraya berkata, “Wahai anak-anakku, janganlah kalian melempar jumrah sampai matahari terbit.” [9]
Ini dalil yang jelas sekali, karena Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma ketika hajjatul wada’ (haji wada’) berusia sepuluh tahun.
Kedua: Orang yang sudah terlalu masyhur dengan sebutan yang mengandung penasaban kepada selain ayahnya, seperti Al-Miqdad ibnu ‘Amr radhiyallahu ‘anhu yang lebih masyhur dengan Al-Miqdad ibnul Aswad, di mana hampir-hampir ia tidak dikenal kecuali dengan penasaban kepada Al-Aswad ibnu Abdi Yaghuts yang di masa jahiliah mengangkatnya sebagai anak, maka ketika turun ayat yang melarang penasaban kepada selain ayah kandung, disebutlah Al-Miqdad dengan ibnu ‘Amr. Namun penyebutannya dengan Al-Miqdad ibnul Aswad terus berlanjut, semata-mata sebagai penyebutan bukan dengan maksud penasaban. Yang seperti ini tidak apa-apa sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Al-Qurthubi, dengan alasan yang disebutkan oleh Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu bahwa tidak pernah didengar dari orang terdahulu yang menganggap orang yang dipakaikan baginya sebutan tersebut telah berbuat maksiat. [10]” Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Fatawa wa Rasa’il Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh, 9/21-25, sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 889-891)
Catatan kaki:
[1] Awal ayat di atas berbunyi:
مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ‏‎ ‎قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ‏
‎“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua hati/jantung dalam rongganya….” (Al-Ahzab: 4)
[2] Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam ayat ke 6 surah Al-Ahzab:
وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ‏‎ ‎أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ‏‎ ‎اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ‏‎ ‎وَالْمُهَاجِرِينَ
“Dan orang-orang yang memiliki hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin (yang lain yang tidak punya hubungan darah) dan orang-orang Muhajirin….”
[3] Awal ayat ini adalah:
وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ‏‎ ‎مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ‏‎ ‎وَالْأَقْرَبُونَ
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya….”
[4] Wasiat di sini tidak lebih dari 1/3 harta si mayit.
[5] Dzawil arham adalah semua kerabat mayit yang tidak mendapat bagian fardh dan ta’shib dari harta warisan. Ahli waris terbagi dua:
- Ada yang mendapat bagian warisan dengan fardh yaitu ia mendapat bagian yang tertentu kadarnya, seperti setengah atau seperempat.
- Ada yang mendapat bagian warisan dengan ta’shib yaitu kadarnya dari warisan tidak ada penentuannya.
[6] ‘Ashabah adalah kerabat mayit yang mendapat bagian dari harta warisan tanpa ada batasan tertentu, bahkan bila dia cuma sendirian, dia berhak mendapat semua harta si mayit.
[7] Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, 4/57.
[8] HR. Al-Bukhari no. 4326 dan Muslim no. 217.
[9] Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu
[10] Tafsir Al-Qurthubi, 14/80.


http://kaahil.wordpress.com/2013/03/11/lengkap-hukum-seputar-anak-angkat-dalam-islam-bolehkah-menjadikan-anak-orang-lain-sebagai-anak-angkat-dalam-keluarga-kita-di-mana-kita-menganggapnya-seperti-anak-sendiri-lalu-bagaimana-hijab/